ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RENDAHNYA DAYA SERAP ANGGARAN
(Studi Empiris Pada SKPD Kota Mataram)
VELICIA MIRANDA WIJAYA
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh perencanaan, pencatatan administrasi, kompetensi sumber daya manusia, dokumen pengadaan dan uang persediaan terhadap rendahnya daya serap anggaran pada SKPD Kota Mataram. Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif deskriptif dengan metode survey. Teknik dalam pengambilan sampel penelitian menggunakan teknik pengumpulan data secara purposive sampling. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan membuat daftar pertanyaan dalam sebuah kuisioner yang akan diisi oleh responden. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis regresi linier berganda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Perencanaan memiliki pengaruh terhadap rendahnya daya serap anggaran, (2) Pencatatan administrasi memiliki pengaruh terhadap rendahnya daya serap anggaran, (3) Kompetensi sumber daya manusia memiliki pengaruh yang signifikan terhadap rendahnya daya serap anggaran, (4) Dokumen pengadaan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap rendahnya daya serap anggaran, dan (5) Uang persediaan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap rendahnya daya serap anggaran.Penelitian selanjutnya diharapkan dapat memperluas sampel yang digunakan dalam penelitian serta diharapkan agar seluruh responden dapat mengisi kuisioner yang diberikan sehingga jawaban hasil penelitian juga dapat menyeluruh.
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan sumber pendanaan yang digunakan oleh pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan.Dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), pengeluaran pemerintah yang mendukung dalam pembangunan kesejahteraan masyarakat tercermin dalam belanja modal. Pelaksanaan belanja modal tersebut dalam rangka peningkatan pelayanan publik oleh pemerintah, yaitu dalam bentuk kebutuhan dasar seperti kesehatan, pendidikan, air bersih, dan transportasi, serta infrastruktur seperti jaringan jalan, sanitasi, dan fasilitas umum lainnya. Sebagai negara yang sedang giat membangun, peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk memberikan dorongan yang lebih kuat dan cepat bagi pergerakan roda perekonomian.Peran pemerintah disini dapat dinyatakan dalam bentuk mengoptimalkan pengelolaan potensi daerah dan sumber daya manusia yang memberikan manfaat terhadap masyarakat. Hal tersebut dapat terlaksana jika segala sesuatunya dilakukan secara efektif dan efisien, tetapi pada kenyataannya masih banyak hal-hal yang diharapkan oleh masyarakat terhadap pemerintah untuk peningkatan kesejahteraan tidak dapat terpenuhi.
Salah satu faktor penyebabnya adalah rendahnya penyerapan anggaran seperti halnya yang terjadi di SKPD Kota Mataram. Berdasarkan berita yang diterbitkan radar lombok tanggal 8 oktober 2016 melalui situsnya www.radarlombok.co.id menyebutkan bahwa memasuki triwulan keempat tahun anggaran 2016, serapan anggaran belanja keuangan dan fisik di enam Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) masih sangat rendah yakni di bawah 50 persen dari target yang seharusnya 70 persen begitu memasuki triwulan keempat.Enam SKPD tersebut yakni Bagian Organisasi dengan anggaran Rp 1,1 miliar, realisasinya baru 47, 86 persen dan realisasi fisik sebesar 48 persen. Kedua Dinas Koperasi dan Perindag dengan jumlah anggaran RP 25, 2 miliar, realisasi 47,16 persen dan fisik 47, 16 persen. Ketiga Dinas Kesehatan dengan nilai anggaran Rp110 miliar, realisasi 42, 68 persen dan fisik 42, 68 persen. Keempat Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dengan anggaran sebesar 9, 398 miliar, realisasi 27,79 persen dan fisik 29,34 persen. Kelima Bagian Kesra dengan anggaran Rp 1, 6 miliar, realisasi 32, 80 persen dan fisik 34,19 persen. Terakhir, Badan Lingkungan Hidup (BLH) dengan jumlah anggaran sebesar Rp 9, 318 miliar, realisasi 32, 80 persen dan fisik 34,19 persen.Rendahnya daya serap anggaran tersebut membuat Wali Kota Mataram H Ahyar Abduh merasa khawatir, karena ditakutkan masyarakat tidak bisa merasakan dampak maksimal dari proyek atau program yang telah disusun.
Kegagalan target penyerapan anggaran ini mengakibatkan hilangnya manfaat belanja, karena dana yang dialokasikan ternyata tidak semuanya dapatdimanfaatkan. Penyerapan anggaran yang terlambat ini perlu mendapat perhatian yang serius dari pemerintah terutama untuk jenis belanja barang dan belanja modal. Belanja tersebut dapat meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan nilai konsumsi, peningkatan produktivitas tenaga kerja, peningkatan kemakmuran nyata dan terwujudnya stabilisasi makro ekonomi. Banyak faktor yang mempengaruhi penyerapan anggaran diantaranya adalahfaktor perencanaan, faktor administrasi, faktor Sumber Daya Manusia (SDM), faktor dokumen pengadaan dan faktor Uang Persediaan (UP).
Menurut Halim (2014: 104), penyerapan anggaran yang maksimal harus juga diikuti dengan perencanaan anggaran yang baik. Penyerapan anggaran yang maksimal tanpa adanya perencanaan anggaran yang baik dapat dikatakan sebagai suatu hal yang mustahil akan terwujud. Perencanaan anggaran akan bermula dari pengajuan awal yang dilakukan kementrian dan lembaga yang kemudian bermuara dalam RKA-KL. Pembahasan dan penganggaran yang dilakukan dapat dikatakan merupakan proses yang berulang terus-menerus dalam tahapanya, walupun mungkin berbeda dalam program dan pelaksanaannya.
Item pembentuk faktor administrasi adalah (1) Salah dalam penentuan akun sehingga harus direvisi melalui Kementerian Keuangan yang tentunya akan memakan proses yang cukup lama; (2) Masa penyusunan dan penelaahan anggaran yang terlalu pendek berdampak pada kesulitan dalam mempersiapkan data pendukung sehingga dapat mengakibatkan kegiatan/proyek yang diajukan tersebut diblokir; (3) Keterbatasan pejabat/pelaksana pengadaan barang/jasa yang bersertifikat sehingga menyebabkan adanya rangkap tugas; (4) Kurangnya pemahaman terhadap peraturan mengenai mekanisme pembayaran; dan (5) Adanya tambahan pagu karena ABT, tambahan/luncuran PHLN/PHDN, penerimaan hibahsehingga dengan adanya tambahan anggaran, satker akan mendapatkan pekerjaan baru untuk melakukan penyerapan anggaran.Hal-hal tersebut yang menyebabkan rendahnya atau keterlambatan daya serap angggaran.
Selanjutnya untuk setiap organisasi, private atau publik perlu membangun sumber daya manusia (SDM) yang profesional dan memiliki kompetensi yang tinggi. SDM yang berkompetensi tinggi akan menjadi keunggulan tersendiri dalam sebuah organisasi sekaligus sebagai pendukung daya saing organisasi dalam era globalisasi dan menghadapi lingkungan kerja serta kondisi sosial masyarakat yang mengalami perubahan yang dinamis. Tidak terkecuali bagi setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam melakukan setiap program kerja terutama dalam hal penyusunan anggaran. Apalagi dengan adanya regulasi sebagai pedoman dalam bekerja, sangat diperlukan kompetensi pegawai untuk memahami dan mengambil keputusan (Putri, 2014).
Pendapat lain, menurut Thoha (2001), manusia adalah aktor utama dalam setiap organisasi yang memiliki karakteristikseperti kemampuan, kepercayaan pribadi, pengharapan, kebutuhan, dan pengalaman. Komponen karakteristik inilah yang kemudian membentuk perilaku pegawai. Selanjutya, organisasi merupakan suatu wadah untuk mencapai tujuan dan manusialah yang akan membawa organisasi tersebut untuk mencapai tujuan.Senada dengan pendapat Thoha, menurut Halim (94:2014), kompetensi sumber daya manusia (SDM) merupakan faktor yang menyebabkan rendahnya penyerapan anggaran. Salah satunya terlihat dalam proses pengadaan barang dan jasa, dimana terdapat keterbatasan SDM saat mengadakan pelelangan. Akibatnya proses pelelangan pun terganggu karena harus mengikuti ketersediaan waktu panitia lelang.
Menurut Herriyanto (2012), permasalahan SDM terjadi berawal dari keengganan dan ketakutan untuk menjadi panitia pengadaan. Hal ini karena tidak seimbangnya resiko pekerjaan dengan imbalan yang diterima. Di samping itu, bekerja sebagai panitia merupakan pekerjaan sampingan di samping pekerjaan pokok dan rutin sehari-harinya, sehingga kurang kompeten dalam melaksanakanpengadaan barang/jasa. Hal ini beresiko terjadi keterlambatan dalam proses pengadaan barang/jasa. Permasalahan SDM terkait erat dengan dorongan motivasi. Motivasi dapat berupa materi maupun inmateri. Secara materi, imbalan yang diperoleh menjadi panitia pengadaan barang/jasa kecil dibandingkan dengan resikodan waktu yang habis tercurah. Panitia pengadaan barang/jasa hanya memperoleh honorarium per paket (sekali selama pengadaan barang/jasa dilaksanakan). Padahal mereka harus melakukan berbagai tahap pelaksanaan kegiatan lelang yang memerlukan waktu yang cukup lama.
Uang Persediaan (UP) adalah uang muka kerja yang bersifat daur ulang (revolving) untuk membiayai kegiatan operasional kantor sehari-hari yang tidak dapat dilakukan dengan pembayaran langsung. UP digunakan untuk mempercepat proses penyerapan karena sifatnya cashonhand, dimanabendahara pengeluaran diberikan uang tunai untuk melakukan transaksi pembayaran atas pengeluaran negara secara tunai kepada yang berhak. Pengisian kembali UP (GUP) dapat diberikan apabila dana UP yang dipergunakan sekurang-kurangnya 75% dari dana UP yang diterima. Ketentuanini dibuat agar dana yang tersimpan pada rekening bendahara pengeluaran tidak banyak yang menganggur (idlecash) apabila tidak digunakan. Di lain pihak bagi satker ketentuan ini justru memberatkan karena dalam melakukan revolving dana harus menunggu dana UP habis minimal sebanyak 75%. Sehinggga menyebabkan keterlambatan penyerapan anggaran. Permasalahan lainnya terkait GUP adalah adanya mekanisme baru bahwa Surat Setoran Pajak (SSP) sebagai lampiran GUP selain dilegalisasi oleh KPA atau pejabat yang ditunjuk juga harus melakukan konfirmasi kepada KPPN untuk mendapatkan validasi bahwa SSP yang disetorkan telah masuk ke Rekening Kas Negara. Proses validasi tersebut memakan waktu yang lama hingga 2 atau 3 hari. Jadi dengan adanya mekanisme tersebut berdampak pada keterlambatan penyerapan anggaran bagi K/L dan menambah beban kerja bagi KPPN untuk memberikan konfirmasi dan validasi SSP.(Herriyanto, 2012)
Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi daya serap anggaran telah dilakukan oleh beberapa peneliti yaitu Iwan Dwi Kuswoyo (2011), Siswanto dan Rahayu (2011), Hendris Herriyanto (2012), Miliasih (2012), Prasetyo Adi Priatno (2013), Carlin Tasya Putri (2014), Nur Fitriany, Gregorius Nasiansenus Masdjojo, dan Titiek Suwarti (2015) dan Ahmad Rifai, Biana Adha Inapty & Rr. Sri Pancawati M (2016). Kuswoyo (2011) melakukan penelitian terhadap faktor-faktor penyebab penumpukan anggaran belanja diakhir tahun anggaran pada satuan kerja di wilayah KPPN Kediri yang menghasilkan empat faktor diantaranya faktor perencanaan anggaran, faktor pelaksanaan anggaran, faktor pengadaan barang dan jasa, dan faktor internal satker. Siswanto dan Rahayu (2011) yang meneliti tentang faktor-faktor penyebab rendahnya penyerapan belanja Kementrian/Lembaga TA 2010, hasilnya menunjukkan bahwa terdapat 4 permasalahan utama dalam proses penyerapan belanja K/L yaitu terkait dengan persoalan internal K/L, persoalan mekanisme pengadaan barang dan jasa, dokumen pelaksanaan anggaran dan mekanisme revisi dan persoalan lain seperti adanya peningkatan alokasi belanja K/L pada saat terjadi perubahan APBN sebagaimana tertuang dalam APBN-P. Penelitian Hendris Herriyanto (2012) dengan judul Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keterlambatan Penyerapan Anggaran Belanja pada Satuan Kerja Kementrian di Wilayah Jakarta dengan menggunakan analisis faktor eksploratori (Eksploratory Faktor Analysis-EFA). Penelitiaan ini menemukan bahwa keterlambatan penyerapan anggaran belanja pada satuan kerja di wilayah Jakarta disebabkan oleh: (1) Faktor Perencanaan yang menjelaskan variasi seluruh item sebesar 42,91%, (2) Faktor Administrasi yang menjelaskan variasi seluruh item sebesar 8,84%, (3) Faktor Sumber Daya Manusia yang menjelaskan variasi seluruh item sebesar 7,80%, (4) Faktor Dokumen Pengadaan yang menjelaskan variasi seluruh item sebesar 6,47%, (5) Faktor Ganti Uang yang menjelaskan variasi seluruh item sebesar 5,41%, sisanya sebesar 28,57% dijelaskan oleh faktor lain selain faktor tersebut.
Miliasih (2012) meneliti mengenai analisis keterlambatan penyerapan anggaran belanja satuan kerja kementerian negara/lembaga TA 2010 di wilayah pembayaran KPPN Pekanbaru menghasilkan dua faktor utama yang menyebabkan keterlambatan penyerapan anggaran belanja yaitu kebijakan teknis dan kultur pengelolaan anggaran di satuan kerja. Selain itu terdapat penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo Adi Priatno (2013) dengan judul Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyerapan Anggaran pada Satuan kerja Lingkup Pembayaran KPPN Blitar. Penelitian ini menggunakan analisis faktor dan regresi logistik. Dari 15 variabel awal yang dimunculkan, diperoleh tiga faktor, yakni Faktor Adminsitrasi dan SDM, Faktor Perencanaan, dan Faktor Pengadaan Barang dan Jasa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Faktor Adminstrasi dan SDM mempunyai pengaruh yang tidak signifikan terhadap penyerapan anggaran satuan kerja, sedangkan Faktor Perencanaan dan Faktor Pengadaan Barang dan Jasa yang mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap penyerapan anggaran satuan kerja. Selanjutnya, penelitian Carlin Tasya Putri (2014) dengan judul Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyerapan Anggaran pada Satuan Kerja Perangkat Daerah di Pemerintah Provinsi Bengkulu. Sampel dalam penelitian adalah 44 responden yang menduduki jabatan di bidang yang berkaitan dengan anggaran, di antaranya adalah pejabat pembuat komitmen, pejabat pelaksana teknis kegiatan, pejabat penanda tangan surat perintah membayar dan bendahara pengeluaran pada 11 SKPD. Penelitian ini dengan regresi linier berganda dan menemukan bahwa kompetensi sumber daya manusia memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penyerapan anggaran, dokumen pengadaan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penyerapan anggaran dan uang persediaan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penyerapan anggaran. Dokumen perencanaan tidak memiliki pengaruh terhadap penyerapan anggaran dan pencatatan administrasi tidak memiliki pengaruh terhadap penyerapan anggaran.
Nur Fitriany, Gregorius Nasiansenus Masdjojo, dan Titiek Suwarti (2015) juga melakukan penelitian mengenai daya serap anggaran dengan judul “Exploring The Factors That Impact The Accumulation Of Budget Absorption In The End Of The Fiscal Year 2013: A Case Study In Pekalongan City Of Central Java Indonesia”, dan memperoleh hasil bahwa Faktor Perencanaan Anggaran (X1), Faktor Penerapan Anggaran (X2), Faktor Internal Unit Kerja (X3), Faktor Sumber Daya Manusia (X4), Faktor Dokumen (X5), dan Faktor Administrasi (X6) berpengaruh signifikan secara simultan terhadap Akumulasi Penyerapan Anggaran di Kota Pekalongan. Secara parsial, hanya Faktor Sumber Daya Manusia dan Faktor Dokumen yang berpengaruh signifikan terhadap Akumulasi Penyerapan Anggaran, sementara yang lainnya tidak signifikan. Berbeda halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Rifai, Biana Adha Inapty & Rr. Sri Pancawati M (2016) yang meneliti mengenai daya serap anggaran dengan judul “Analisis Faktor–Faktor Yang Memengaruhi Keterlambatan Daya Serap Anggaran (Studi Empiris Pada Skpd Pemprov Ntb)”, yang memperoleh hasil bahwa perencanaan, regulasi, pelaksanaan, desentralisasi, koordinasi dan sumber daya manusia tidak berpengaruh pada keterlambatan daya serap anggaran.
Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian Herriyanto (2012) yangmenganalisis faktor-faktor yang Mempengaruhi Keterlambatan Penyerapan Anggaran Belanja pada Satuan Kerja Kementrian di Wilayah Jakarta.Hasil penelitiannya menghasilkan 5 faktor yang memilki pengaruh terhadap penyerapan anggaran yang diantaranyaadalah faktor perencanaan, administrasi, Sumber Daya Manusia (SDM),dokumen pengadaan, dan Ganti Uang Persediaan (GUP).
Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya dimana penelitian ini diteliti di tempat yang berbeda, yaitu di Kota Mataram. Alasan peneliti untuk mengambil penelitian dengan judul ini adalah karena adanya fenomena yang terjadi di Kota Mataram mengenai 6 SKPD yang mengalamipenyerapan anggaran yang masih rendah, sehingga peneliti ingin mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penyerapan anggaran agar SKPD di Pemerintah Kota Mataram.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Rendahnya Daya Serap Anggaran (Studi Empiris Pada SKPD Kota Mataram).
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu:
1) Apakah perencanaan berpengaruh positif terhadap penyerapan anggaran?
2) Apakah pencatatan administrasi berpengaruh positif terhadap penyerapan anggaran?
3) Apakah kompetensi sumber daya manusia berpengaruh positif terhadap penyerapan anggaran?
4) Apakah dokumen pengadaan berpengaruh positif terhadap penyerapan anggaran?
5) Apakah uang persediaan berpengaruh positif terhadap penyerapan anggaran?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh perencanaan, pencatatan administrasi, kompetensi sumber daya manusia, dokumen pengadaan dan uang persediaan terhadap rendahnya daya serap anggaran pada SKPD Kota Mataram.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1) Manfaat praktis, hasil penelitian ini diharapkan nantinya dapat memberikan sumbangsih dalam rangka mengevaluasi kinerja pemerintah Kota Mataram terutama kaitannya dengan perencanaan pembangunan dan pengambilan keputusan dalam rangka memaksimalkan penyerapan anggaran.
2) Manfaat teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam hal pengembangan wawasan dibidang anggaran pemerintah daerah serta dapat menjadi sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu akademik dan dapat dijadikan referensi atau bukti tambahan untuk peneliti-peneliti selanjutnya yang akan meneliti tentang topik yang sama.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1 Stewardship Theory
Grand theory dalam Penelitian ini menggunakan Stewardship Theory, Teori stewardship menjelaskan mengenai situasi manajemen tidaklah termotivasi olehtujuan-tujuan individu melainkan lebih ditujukan pada sasaran hasil utama mereka untuk kepentingan organisasi (Donaldson, 1989 dan Davis, 1991). Teori ini mengambarkan tentang adanya hubungan yang kuat antara kepuasan dan kesuksesan organisasi. Sedangkan menurut Etty Murwaningsari (2009) Teori stewardship berdasarkan asumsi filosofis mengenai sifat manusia bahwa manusia dapat dipercaya, bertanggung jawab, dan manusia merupakan individu yang berintegritas.
Pemerintah selaku steward dengan fungsi pengelola sumber daya dan rakyat selaku principal pemilik sumber daya. Terjadi kesepakatan yang terjalin antara pemerintah (steward) dan rakyat (principal) berdasarkan kepercayaan, kolektif sesuai tujuan organisasi. Organisasi sektor public memiliki tujuan memberikan pelayanan kepada public dan dapat di pertanggung jawabkan kepada masyarakat (public). Sehingga dapat diterapkan dalam model kasus organisasi sektor public dengan teori stewardship. Menurut Putro (2013) teori stewardship mengasumsikan hubungan yang kuat antara kesuksesan organisasi dengan kepuasan pemilik. Pemerintah akan berusaha maksimal dalam menjalankan pemerintahan untuk mencapai tujuan pemerintah yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Putro juga menjelaskan apabila tujuan ini mampu tercapai oleh pemerintah maka rakyat selaku pemilik akan merasa puas dengan kinerja pemerintah.
2.1.2 Stakeholder Theory
Selain teori stewardship, teori lain yang mendasari penelitian ini ialah teori Stakeholder. Istilah Stakeholder pertama kali diperkenalkan oleh Standford Research Institute (RSI) pada tahun 1963 (Freeman, 1984). Freeman (1984) mendefinikan stakeholder sebagai “any group or individual who can affect or beaffected by the achievement of anorganization ’sobjective.” bahwa stakeholder merupakan kelompok maupun individu yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh proses pencapaian tujuan organisasi. Stakeholder theory merupakan sekelompok orang, komunitas atau masyarakat baik secara keseluruhan maupun parsial yang memiliki hubungan serta kepentingan terhadap organisasi (Putro, 2013). Dalam organisasi sektor public, sektor public memiliki cakupan yang lebih luas dan lebih beragam.
Stakeholder Sektor Publik dengan sektor swasta
Stakeholder Sektor Publik Stakeholder Sektor Swasta
Stakeholder Eksternal
a. Masyarakat pengguna jasa public
b. Masyarakat pembayar pajak
c. Perusahaan dan organisasi social ekonomi yang menggunakan pelayanan public sebagai input atas aktivitas organisasi
d. Bank Sebagai kreditor pemerintah
e. Badan-badan Internasioanal, seperti Bank Dunia, IMF, ADB, PBB, dsb.
f. Investor asing dan Country Analyst
g. Generalisasi yang datang
Stakeholder Internal
a. Lembaga negara (kabinet, MPR, DPR/DPRD, dsb)
b. Kelompok politik (partai politik)
c. Manajer public (gubernur, bupati, direktur BUMN/BUMD)
d. Pegawai penerintah Stakeholder Eksternal
a. Bank sebagai kreditor
b. Serikat Buruh
c. Pemerintah
d. Pemasok
e. Distributor
f. Pelanggan
g. Masyarakat
h. Serikat dagang (trade union)
i. Pasar modal
Stakeholder Internal
a. Manajemen
b. Karyawan
c. Pemegang saham
sumber : Mardiasmo (2002)
Sedangkan Bryson (2001) mendefinisikan stakeholder ialah suatu individu, kelompok, atau organisasi apa pun yang dapat melakukan klaim terhadap sumber daya atau hasil dari organisasi atau dipengaruhi oleh hasil itu. Keberhasilan dalam organisasi public maupun swasta ialah sejauhmana organisasi tersebut dapat menjamin kepuasan stakeholder utama (masyarakat sebagai stakeholder utama). Pemerintah selaku pemegang kekuasaan dalam roda pemerintahan harus menekankan aspek kepentingan rakyat selaku stakeholder (Putro,2013), Putro juga menekankan pemerintah harus mampu mengelola kekayaan daerah, pendapatan daerah serta yang berupa asset daerah untuk kesejahteraan rakyat sesuai dengan isi dari Undang - Undang Dasar 1945 pasal 33 yang menyatakan bahwa seluruh kekayaan alam yang dikuasai pemerintah harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat.
2.2. Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi daya serap anggaran telah dilakukan oleh beberapa peneliti yaitu Iwan Dwi Kuswoyo (2011) , Siswanto dan Rahayu (2011), Hendris Herriyanto (2012), Miliasih (2012), Prasetyo Adi Priatno (2013), Carlin Tasya Putri (2014), Nur Fitriany, Gregorius Nasiansenus Masdjojo, dan Titiek Suwarti (2015) dan Ahmad Rifai, Biana Adha Inapty & Rr. Sri Pancawati M (2016).
Kuswoyo (2011) melakukan penelitian terhadap faktor-faktor penyebab penumpukan anggaran belanja diakhir tahun anggaran pada satuan kerja di wilayah KPPN Kediri yang menghasilkan empat faktor diantaranya faktor perencanaan anggaran, faktor pelaksanaan anggaran, faktor pengadaan barang dan jasa, dan faktor internal satker.
Siswanto dan Rahayu (2011) yang meneliti tentang faktor-faktor penyebab rendahnya penyerapan belanja Kementrian/Lembaga TA 2010, hasilnya menunjukkan bahwa terdapat 4 permasalahan utama dalam proses penyerapan belanja K/L yaitu terkait dengan persoalan internal K/L, persoalan mekanisme pengadaan barang dan jasa, dokumen pelaksanaan anggaran dan mekanisme revisi dan persoalan lain seperti adanya peningkatan alokasi belanja K/L pada saat terjadi perubahan APBN sebagaimana tertuang dalam APBN-P. Penelitian
Hendris Herriyanto (2012) dengan judul Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keterlambatan Penyerapan Anggaran Belanja pada Satuan Kerja Kementrian di Wilayah Jakarta dengan menggunakan analisis faktor eksploratori (Eksploratory Faktor Analysis-EFA). Penelitiaan ini menemukan bahwa keterlambatan penyerapan anggaran belanja pada satuan kerja di wilayah Jakarta disebabkan oleh: (1) Faktor Perencanaan yang menjelaskan variasi seluruh item sebesar 42,91%, (2) Faktor Administrasi yang menjelaskan variasi seluruh item sebesar 8,84%, (3) Faktor Sumber Daya Manusia yang menjelaskan variasi seluruh item sebesar 7,80%, (4) Faktor Dokumen Pengadaan yang menjelaskan variasi seluruh item sebesar 6,47%, (5) Faktor Ganti Uang yang menjelaskan variasi seluruh item sebesar 5,41%, sisanya sebesar 28,57% dijelaskan oleh faktor lain selain faktor tersebut.
Miliasih (2012) meneliti mengenai analisis keterlambatan penyerapan anggaran belanja satuan kerja kementerian negara/lembaga TA 2010 di wilayah pembayaran KPPN Pekanbaru menghasilkan dua faktor utama yang menyebabkan keterlambatan penyerapan anggaran belanja yaitu kebijakan teknis dan kultur pengelolaan anggaran di satuan kerja.
Selain itu terdapat penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo Adi Priatno (2013) dengan judul Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyerapan Anggaran pada Satuan kerja Lingkup Pembayaran KPPN Blitar. Penelitian ini menggunakan analisis faktor dan regresi logistik. Dari 15 variabel awal yang dimunculkan, diperoleh tiga faktor, yakni Faktor Adminsitrasi dan SDM, Faktor Perencanaan, dan Faktor Pengadaan Barang dan Jasa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Faktor Adminstrasi dan SDM mempunyai pengaruh yang tidak signifikan terhadap penyerapan anggaran satuan kerja, sedangkan Faktor Perencanaan dan Faktor Pengadaan Barang dan Jasa yang mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap penyerapan anggaran satuan kerja.
Selanjutnya, penelitian Carlin Tasya Putri (2014) dengan judul Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyerapan Anggaran pada Satuan Kerja Perangkat Daerah di Pemerintah Provinsi Bengkulu. Sampel dalam penelitian adalah 44 responden yang menduduki jabatan di bidang yang berkaitan dengan anggaran, di antaranya adalah pejabat pembuat komitmen, pejabat pelaksana teknis kegiatan, pejabat penanda tangan surat perintah membayar dan bendahara pengeluaran pada 11 SKPD. Penelitian ini dengan regresi linier berganda dan menemukan bahwa kompetensi sumber daya manusia memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penyerapan anggaran, dokumen pengadaan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penyerapan anggaran dan uang persediaan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penyerapan anggaran. Dokumen perencanaan tidak memiliki pengaruh terhadap penyerapan anggaran dan pencatatan administrasi tidak memiliki pengaruh terhadap penyerapan anggaran.
Nur Fitriany, Gregorius Nasiansenus Masdjojo, dan Titiek Suwarti (2015) juga melakukan penelitian mengenai daya serap anggaran dengan judul “Exploring The Factors That Impact The Accumulation Of Budget Absorption In The End Of The Fiscal Year 2013: A Case Study In Pekalongan City Of Central Java Indonesia”, dan memperoleh hasil bahwa Faktor Perencanaan Anggaran (X1), Faktor Penerapan Anggaran (X2), Faktor Internal Unit Kerja (X3), Faktor Sumber Daya Manusia (X4), Faktor Dokumen (X5), dan Faktor Administrasi (X6) berpengaruh signifikan secara simultan terhadap Akumulasi Penyerapan Anggaran di Kota Pekalongan. Secara parsial, hanya Faktor Sumber Daya Manusia dan Faktor Dokumen yang berpengaruh signifikan terhadap Akumulasi Penyerapan Anggaran, sementara yang lainnya tidak signifikan.
Berbeda halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Rifai, Biana Adha Inapty & Rr. Sri Pancawati M (2016) yang meneliti mengenai daya serap anggaran dengan judul “Analisis Faktor–Faktor Yang Memengaruhi Keterlambatan Daya Serap Anggaran (Studi Empiris Pada Skpd Pemprov Ntb)”, yang memperoleh hasil bahwa perencanaan, regulasi, pelaksanaan, desentralisasi, koordinasi dan sumber daya manusia tidak berpengaruh pada keterlambatan daya serap anggaran.
3. PERUMUSAN HIPOTESIS
3.1. Anggaran
Anggaran merupakan salah satu alat vital suatu organisasi dalam mencapai tujuannya. Anggaran merupakan sarana utama untuk perencanaan, pengendalian dan pengambilan keputusan dalam setiap perusahaan. Rencana ini biasanya mencakup berbagai kegiatan operasional yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi dengan suatu pendekatan formal dan sistematis dari pelaksanaan tanggung jawab manajemen dalam perencanaan, koordinasi dan pengendalian. Dalam pasal 14 ayat (6) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 telah disusun peraturan perundang-undangan yang mengatur penyusunan rencana kerja dan anggaran kementrian Negara/lembaga.
3.2. Penyerapan Anggaran
Kondisi penyerapan anggaran pada pemerintah pusat maupun pemerintah daerah di indonesia mempunyai kondisi yang hampir sama, diistilahkan menurut Bank Dunia yaitu lambat di awal tahun namun menumpuk di akhir tahun (slow and back-loaded expenditure). Penyerapan yang menumpuk di akhir tahun biasanya belanja yang nonrecurrent, seperti belanja modal dan belanja bantuan sosial.
Menurut Halim (2014: 84), penyerapan anggaran adalah pencapain dari suatu estimasi yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu dipandang pada suatu saat tertentu (realisasi dari anggaran). Secara lebih mudah orang awam menyebutnya pencairan anggaran. Oleh karena yang diamati adalah organisasi sektor publik atau entitas pemerintahan, maka penyerapan anggaran disini dapat diartikan sebagai pencairan atau realisasi anggaran sesuai yang tercantum dalam Laporan Realisasi Anggaran (LRA) pada saat tertentu.
Senada dengan hal itu menurut Kuncoro (2013), penyerapan anggaran merupakan salah satu tahapan dari siklus anggaran yang dimulai dari perencanaan annggaran, penetapan dan pengesahan anggaran oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), penyerapan anggaran, pengawasan anggaran dan pertanggungjawaban penyerapan anggaran.
“Kinerja manajer publik akan dinilai berdasarkan pencapaian target anggaran, berapa besar yang berhasil dicapai. Penilaian kinerja dilakukan dengan menganalisis simpangan kinerja aktual dengan yang dianggarkan” (Mardiasmo, 2009). Sedangkan menurut Lusiana (1997) dalam Adi (2013), kemampuan penyerapan anggaran dianggap baik dan berhasil apabila prestasi realisasi penyerapan adalah sesuai dengan prestasi aktual fisik pekerjaan yang dapat diselesaikan dengan anggapan bahwa prestasi fisik aktual pekerjaan tersebut adalah relatif sama dengan target prestasi penyelesaian pekerjaan yang direncanakan. Secara sederhana, dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa suatu penyerapan anggaran dikatakan baik apabila telah dilaksanakan sesuai dengan perencanaan. Menurut Halim (2014: 84), terdapat dua sudut pandang mengenai rendahnya penyerapan anggaran. Ada pun pendapat tersebut sebagai berikut:
1. Penyerapan anggaran yang dimaksud adalah realisasi anggaran pada akhir tahun \ dibandingkan dengan anggarannya.
2. Dari segi ketidak-proporsionalitasnya penyerapan anggaran.
Menurut Lubis (199: 3) dalam Shenny (2012), mengatakan efektivitas penyerapan anggaran lebih menekan pada pencapaian segala sesuatu yang dilaksanakan berdaya guna yang berarti tepat, cepat, hemat, dan selamat. Adapun penjelasannya sebagai berikut:
1. Tepat artinya apa yang dikehendaki tercapai kena sasaran memenuhi target, apa yang diinginkan menjadi realitas.
2. Cepat artinya pekerjaan tersebut dapat diselesaikan sebelum waktu yang ditetapkan.
3. Hemat artinya, tanpa terjadi pemborosan dalam bidang apapun dalam pelaksanaan pekerjaan untuk mencapai tujuan tersebut.
4. Selamat artinya tanpa mengalami hambatan-hambatan yang dapat menyebabkan kegagalan sebagian atau seluruh usaha pencapaian tujuan.
3.3. Sistem Penganggaran di Indonesia
Sistem penganggaran di Indonesia tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Menurut Murwanto dalam Herriyanto (2012) APBN adalah rencana tahunan keuangan pemerintahan yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang berisi daftar sistematis dan terperinci atas rencana penerimaan dan pengeluaran negara selama satu tahun anggaran (1 Januari–31 Desember) dan ditetapkan dengan Undang-Undang serta dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
APBN terdiri dari pendapatan negara dan hibah, belanja negara, dan pembiayaan adalah merupakan instrumen utama kebijakan fiskal untuk mengarahkan perekonomian nasional dan menstimulus pertumbuhan ekonomi sehingga besarnya penyerapan akan berdampak pada semakin besarnya daya dorong terhadap pertumbuhan. Rasio realisasi penyerapan belanja Kementerian atau Lembaga terhadap pagu anggaran belanja merupakan suatu bentuk indikator efektivitas belanja negara.Selain itu kebijakan APBN diharapkan dapat merespon dinamika rakyat baik yang terkait dengan perkembangan perekonomian secara luas, maupun kehidupan rakyat itu sendiri, sehingga diperlukan kebijakan fiskal yang bersifat kleksibel (Rahayu, 2011).
3.4. Perencanaan Anggaran
Perencanaan secara konvensional didefinisikan sebagai kegiatan yang dilakukan untuk masa mendatang yang lebih baik dengan memperhatikan keadaan sekarang maupun sebelumnya. Perencanaan (planning) merupakan proses yang dimulai dari penetapan tujuan organisasi berupa penentuan strategi untuk pencapaian tujuan secara menyeluruh serta perumusan sistem perencanaan yang menyeluruh untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan seluruh pekerjaan organisasi, hingga tercapainya tujuan tersebut (Robbins dan Coulter, 2002 dalam Bastian, 2010: 165). Perencanaan dapat dilihat dalam tiga kategori, yaitu:
1. Dari segi proses: perencanaan merupakan proses dasar yang digunakan untuk memilih tujuan dan menentukan cara pencapaian tujuan tersebut.
2. Dari segi fungsi manajemen: perencanaan berfungsi ketika pimpinan menggunakan pengaruh atau wewenangnya untuk menentukan atau mengubah tujuan serta kegiatan organisasi.
3. Dari segi pengambilan keputusan: perencanaan merupakan pengambilan keputusan jangka panjang atau yang akan datang mengenai hal yang akan dilakukan, cara pelaksanaan, dan waktu serta pelaku hal tersebut. Dalam perencanaan, keputusan yang diambil belum tentu sesuai dengan tujuan sebelumnya hingga implementasi perencanaan tersebut akan dibuktikan di masa datang.
Inti dari perencanaan adalah salah satu langkah mengantisipasi kejadian di masa depan berdasarkan tujuan yang telah ditetapkan di awal. Salah satu bagian dari perencanaan organisasi, baik itu organisasi publik, maupun organisasi privat, adalah perencanaan anggaran.
3.5. Pencatatan Administrasi
Administrasi dalam arti sempit. Menurut Handayaningrat (1988:2) mengatakan “Administrasi secara sempit berasal dari kata Administratie (bahasa Belanda) yaitu meliputi kegiatan cata-mencatat, surat-menyurat, pembukuan ringan, ketik-mengetik, agenda dan sebagainya yang bersifat teknis ketatausahaan”. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan administrasi dalam arti sempit merupakan kegiatan ketatausahaan yang mliputi kegiatan cata-mencatat, surat-menyurat, pembukuan dan pengarsipan surat serta hal-hal lainnya yang dimaksudkan untuk menyediakan informasi serta mempermudah memperoleh informasi kembali jika dibutuhkan.
Administrasi dalam arti luas. Menurut Gie (1980) mengatakan “Administrasi secara luas adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam suatu kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu”. Administrasi secara luas dapat disimpulkan pada dasarnya semua mengandung unsur pokok yang sama yaitu adanya kegiatan tertentu, adanya manusia yang melakukan kerjasama serta mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
3.6. Kompetensi Sumber Daya Manusia
Menurut Spencer dan Spencer (1993), yang dikutip oleh Sutrisno (2009: 221), kompetensi adalah suatu yang mendasari karakteristik dari suatu individu yang dihubungkan dengan hasil yang diperoleh dalam suatu pekerjaan. Kompetensi sebagai karakteristik yang mendasari seseorang dan berkaitan dengan efektifitas kinerja individu dalam pekerjaannya. Senada dengan pendapat tersebut, menurut Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 pasal 3, mengatakan bahwa yang namanya kompetensi adalah kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS), baik berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap perilaku yang diperlukan dalam menunjang pelaksanaan tugas jabatannya. Penilaian terhadap pencapaian kompetensi perlu dilakukan secara objektif, berdasarkan kinerja para karyawan ang ada di dalam sebuah organisasi, dengan bukti penguasaan mereka terhadap pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap sebagai hasil belajar (Sutrisno, 2009: 223).
Berdasarkan paparan tersebut, dapat kita tarik kesimpulan bahwa kompetensi mencakup tugas, keterampilan, sikap, dan apresiasi yang harus dimiliki oleh sumber daya manusia dalam sebuah organisasi untuk menunjang pelaksaan tugas sesuai dengan yang seharusnya. Oleh karena itu perlu rasanya untuk lebih menekan kompetensi apa yang harus dikuasai sumber daya manusia dalam organisasi, agar dapat dinilai sebagai wujud dari hasil pelaksanaan tugas yang berdampak langsung terhadap pengalaman.
Menurut Hutapea dan Thoha (2008: 28), ada tiga komponen utama pembentukan kompetensi yaitu:
1. Pengetahuaan (knowledge), informasi yang dimiliki seseorang karyawan untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan bidang yang digelutinya (tetentu), misalnya bahasa komputer.
2. Kemampuan (skill), sesuatu yang dimiliki oleh individu untuk melaksanakan tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepada karyawan. Misalnya standar perilaku para karyawan dalam memilih motode kerja yang dianggap lebih efektif dan efisien.
3. Perilku individu (attitude), perasaan (senang-tidak senang, suka-tidak suka) atau reaksi terhadap suatu rangsangan yang datang dari luar. Misalnya reaksi terhadap krisis eknomi, perasaan terhadap kenaikan gaji.
3.7. Dokumen Pengadaan
Civiliana (2013) mengatakan berdasarkan Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, jenis dokumen pengadaan terdiri dari dokumen pengadaan barang/jasa pemborongan/jasa lainnya dan dokumen pengadaan jasa konsultansi. Dokumen pengadaan barang/jasa pemborongan/jasa lainnya terdiri dari dokumen pemilihan penyedia dan dokumen pasca/prakualifikasi. Sedangkan dokumen pengadaan jasa konsultansi trdiri dari dokumen pemilihan penyedia dan dokumen prakualifikasi.
Informasi yang diperlukan dalam penyusunan dokumen (Herriyanto, 2012) diantaranya:
1) Peraturan perundang-undangan yang diterapkan
2) Jenis kontrak
3) Sumber dana
4) Metoda pengadaan
5) Nilai kontrak
6) Standar-standar Nasional Indonesia
3.8. Uang Persediaan (UP)
Amir (2013) menjelaskan Uang Persediaan (UP) adalah uang muka kerja dengan jumlah tertentu yang bersifat daur ulang (revolving) yang diberikan kepada bendahara pengeluaran hanya untuk membiayai kegiatan operasional kantor sehari-hari yang tidak dapat dilakukan dengan pembayaran langsung. UP hanya digunakan untuk membiayai kegiatan operasional perkantoran yang tidak mungkin dilaksanakan dengan pembayaran secara langsung atau dapat diartikan kegiatan yang sifatnya insindentil/mendesak. Hal ini wajib dipahami oleh pengelola keuangan baik KPA, PPK, PPTK, PP SPM dan Bendahara Pengeluaran. Surat Permintaan Pembayaran Uang Persediaan (SPP-UP) adalah dokumen yang diajukan oleh bendahara pengeluaran untuk permintaan uang muka kerja yang tidak dapat dilakukan dengan pembayaran langsung.
Ganti Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat GUP adalah permintaan pengganti uang persediaan yang tidak dapat dilakukan dengan pembayaran langsung. SPP Ganti Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPP-GU adalah dokumen yang diajukan oleh bendahara pengeluaran untuk permintaan pengganti uang persediaan yang tidak dapat dilakukan dengan pembayaran langsung. Penggunaan atas UP ini nantinya akan dibayar ke kas daerah melalui Ganti Uang Persediaan (GUP). Undang-Undang yang mendasari mengenai GUP ini diantaranya adalah Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Sedangkan Tambahan Uang Persediaan (TUP) adalah uang yang diberikan kepada satker untuk kebutuhan yang sangat mendesak dalam satu bulan melebihi pagu UP yang ditetapkan. Syarat dalam pengajuan TUP yaitu untuk memenuhi kebutuhan yang sangat mendesak/tidak dapat ditunda, digunakan paling lama satu bulan sejak tanggal SP2D diterbitkan dan apabila tidak habis digunakan dalam satu bulan sisa dana yang ada pada bendahara, harus disetor ke Rekening Kas Negara kecuali mendapatkan dispensasi perpanjangan waktu pertanggungjawaban TUP lebih dari satu bulan dari Kepala Kanwil Ditjen Perbendaharaan.
3.8. Perencanaan terhadap Rendahnya Daya Serap Anggaran
Perencanaan merupakan tahap awal dari penyusunan anggaran yang sangat menentukan keberhasilan suatu anggaran. Karena anggaran disusun untuk kepentingan orang lain yang ingin mengklaim sumber daya atau ingin menentut hasil kerja pemerintah, hal ini sejalan dengan teori stakeholder yang mengatakan bahwa stakeholder ialah suatu individu, kelompok, atau organisasi apa pun yang dapat melakukan klaim terhadap sumber daya atau hasil dari organisasi atau dipengaruhi oleh hasil itu, keberhasilan dalam organisasi public maupun swasta ialah sejauhmana organisasi tersebut dapat menjamin kepuasan stakeholder utama (masyarakat sebagai stakeholder utama).
Menurut Ahmad Rifai, Biana Adha Inapty & Rr. Sri Pancawati M (2016), Dalam kerangka teori Stewardship pihak principal dan agent memiliki tujuan yang selaras dengan tujuan organisasi demi mencapai kesuksesan organisasi. Principal (pemberi amanah) memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pemegang amanah (agent) untuk mempertanggungjawabkan, menyajikan, melaporkan dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya termasuk dalam hal ini agent harus melaporkan kepada principal mengenai perencanaan atas program dan kegiatan yang telah mereka buat serta melaporkan permasalahan-permasalahan yang muncul terkait dengan daya serap anggaran apakah serapan anggaran telah sesuai dengan program atau kegiatan yang telah direncanakan.
Menurut Halim (2014: 104), penyerapan anggaran yang maksimal harus juga diikuti dengan perencanaan anggaran yang baik. Penyerapan anggaran yang maksimal tanpa adanya perencanaan anggaran yang baik dapat dikatakan sebagai suatu hal yang mustahil akan terwujud. Perencanaan anggaran akan bermula dari pengajuan awal yang dilakukan kementrian dan lembaga yang kemudian bermuara dalam RKA-KL. Pembahasan dan penganggaran yang dilakukan dapat dikatakan merupakan proses yang berulang terus-menerus dalam tahapanya, walupun mungkin berbeda dalam program dan pelaksanaannya. Hal ini juga didukung oleh penyartaan Nur Fitriany, Gregorius Nasiansenus Masdjojo, dan Titiek Suwarti (2015) bahwa perencanaan anggaran yang tidak disusun dengan baik juga akan berdampak pada evaluasi dan revisi secara terus menerus oleh pejabat terkait mengenai aspek perencanaan. Jika berlangsung lebih lama, pelaksanaan anggaran untuk program pembangunan akan terbelakang dan menunda jadwal. Pada akhirnya, anggaran tidak bisa digunakan dan akhirnya macet.
Penelitian yang menggunakan perencanaan sebagai variabel independen telah dilakukan oleh Iwan Dwi Kuswoyo (2011), Hendris Herriyanto (2012), Prasetyo Adi Priatno (2013), Nur Fitriany, Gregorius Nasiansenus Masdjojo, dan Titiek Suwarti (2015), dan Ahmad Rifai, Biana Adha Inapty & Rr. Sri Pancawati M (2016). Menurut Kuswoyo (2011), faktor perencanaan anggaran memiliki pengaruh yang signifikan terrhadap penyebab penumpukan anggaran belanja. Pernyataan yang sama juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Hendris Herriyanto (2012), Prasetyo Adi Priatno (2013), Nur Fitriany, Gregorius Nasiansenus Masdjojo, dan Titiek Suwarti (2015). Namun, Ahmad Rifai, Biana Adha Inapty & Rr. Sri Pancawati M (2016) memiliki hasil penelitian yang berbeda bahwa faktor perencanaan tidak berpengaruh pada keterlambatan daya serap anggaran.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat dikemukakan hipotesis sebagai berikut :
H1 : Perencanaan anggaran berpengaruh positif terhadap rendahnya daya serap anggaran.
3.9. Pencatatan Administrasi terhadap Rendahnya Daya Serap Anggaran
Administrasi dapat dikatakan sebagai suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam bentuk kerjasama untuk mencapai tujuan. Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa administrasi menjadi salah satu bagian dari proses pembangunan, karena kegiatan yang dilakukan tersebut memilki pengaruh yang besar terhadap pembangunan daerah yang disusun dalam sistem pemerintahan.
Jika bagian administrasi dapat menjalankan tugasnya dengan baik, maka hasli dari proses dalam pencapaian tujuan pun dapat tercapai. Administrasi juga dapat dikatakan sebagai penyusunan dan pencatatan data dan informasi secara sistematis baik internal maupun eksternal dengan maksud menyediakan keterangan.
Item pembentuk faktor administrasi adalah (1) Salah dalam penentuan akun sehingga harus direvisi melalui Kementerian Keuangan yang tentunya akan memakan proses yang cukup lama; (2) Masa penyusunan dan penelaahan anggaran yang terlalu pendek berdampak pada kesulitan dalam mempersiapkan data pendukung sehingga dapat mengakibatkan kegiatan/proyek yang diajukan tersebut diblokir; (3) Keterbatasan pejabat/pelaksana pengadaan barang/jasa yang bersertifikat sehingga menyebabkan adanya rangkap tugas; (4) Kurangnya pemahaman terhadap peraturan mengenai mekanisme pembayaran; dan (5) Adanya tambahan pagu karena ABT, tambahan/luncuran PHLN/PHDN, penerimaan hibahsehingga dengan adanya tambahan anggaran, satker akan mendapatkan pekerjaan baru untuk melakukan penyerapan anggaran. Hal-hal tersebut yang menyebabkan rendahnya atau keterlambatan daya serap angggaran yang mencerminkan bahwa penerima amanah (steward) tidak bekerja dengan baik sesuai dengan apa yang diinginkan pemberi amanah (principal), sehingga hal-hal yang disebutkan diatas harus dapat diminimalisir.
Penelitian sebelumnya yang menggunakan faktor administrasi sebagai variabel independen adalah Hendris Herriyanto (2012), Prasetyo Adi Priatno (2013), Carlin Tasya Putri (2014), serta Nur Fitriany, Gregorius Nasiansenus Masdjojo, dan Titiek Suwarti (2015). Hendris Herriyanto (2012), berpendapat bahwa administrasi memilki pengaruh yang signifikan terhadap keterlambatan penyerapan anggaran. Sedangkan, menurut Prasetyo Adi Priatno (2013), Faktor adminstrasi dan SDM mempunyai pengaruh yang tidak signifikan terhadap penyerapan anggaran satuan kerja. Hal yang sama juga didukung oleh Carlin Tasya Putri (2014). Menurut Nur Fitriany, Gregorius Nasiansenus Masdjojo, dan Titiek Suwarti (2015), Sistem administrasi dan prosedur akuntansi dalam pelaksanaan anggaran tidak dipahami dengan baik oleh pihak yang berwenang serta administrasi keuangan pemerintah daerah terkait dengan kebijakan pengelolaan anggaran pemerintah daerah tidak terstruktur dengan baik merupakan faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya daya serap anggaan.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat dikemukakan hipotesis sebagai berikut :
H2 : Pencatatan administrasi berpengaruh positif terhadap rendahnya daya serap anggaran.
3.10. Kompetensi SDM terhadap Rendahnya Daya Serap Anggaran
Salah satu faktor utama yang menentukan baik atau tidak jalannya roda pemerintahan ini adalah sumber daya manusia. Hal ini terlihat dari bagaimana manusia sebagai tenaga kerja menggunakan potensi fisik dan psikis yang ia miliki secara maksimal dalam mencapai tujuan organisasi (lembaga).
Pemerintah serta struktur dibawahnya sebaiknya mampu mewujudkan impian masyarakat melalui pembangunan daerah, karena pemerintah yang memiliki jabatan dan kuasa sebagai pengelola keuangan memilki peran penting guna perwujudan harapan masyarakat. Fungsi pemerintah sebagai SDM dapat diwujudkan dalam prakteknya melalui kegiatan pemerintah sebagai pengelola keuangan negara dalam penggunaan anggaran secara efektif dan efisien.
Namun permasalahannya adalah, (a) SDM pelaksana pengadaan kurang kompeten, (b) Rangkap tugas dalam jabatan Panitia Pengadaan, (c) Ketakutan pejabat untuk melaksanakan pengadaan akibat pemberitaan penangkapan pejabat atas tuduhan korupsi, (d) keengganan untuk menjadi pejabat pengadaan karena tidak seimbangnya resiko pekerjaan dengan imbalan yang diterima, dan SK penunjukan panitia pelaksana kegiatan swakelola belum ditetapkan. Hal ini lah yang memicu rendahnya daya serap anggaran (Herriyanto, 2012).
Menurut Ahmad Rifai, Biana Adha Inapty & Rr. Sri Pancawati M (2016), Semakin baik kualitas sumber daya manusia suatu satker sebagai penerima amanah (steward) dalam menjalankan program dan kegiatan dari pemberi amanah (principal) maka serapan anggarannya akan semakin baik karena SDM-nya sudah mengerti akan tugas pokok dan fungsinya (Tupoksi).
Peneliti yang menggunakan kompetensi SDM sebagai variabel independen dalam penelitiannya adalah sebagai berikut : Hendris Herriyanto (2012), Prasetyo Adi Priatno (2013), Carlin Tasya Putri (2014), Nur Fitriany, Gregorius Nasiansenus Masdjojo, dan Titiek Suwarti (2015), serta Ahmad Rifai, Biana Adha Inapty & Rr. Sri Pancawati M (2016).
Hendris Herriyanto (2012), Carlin Tasya Putri (2014), Nur Fitriany, serta Gregorius Nasiansenus Masdjojo, dan Titiek Suwarti (2015) menemukan hasil bahwa kompetensi SDM memiliki pengaruh signifikan terhadap daya serap anggaran sedangkan Prasetyo Adi Priatno (2013) dan Ahmad Rifai, Biana Adha Inapty & Rr. Sri Pancawati M (2016) menemukan hasil bahwa kompetensi SDM tidak memiliki pengaruh terhadap daya serap anggaran.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat dikemukakan hipotesis sebagai berikut :
H3 : Kompetensi sumber daya manusia (SDM) berpengaruh positif terhadap rendahnya daya serap anggaran.
3.11. Dokumen Pengadaan terhadap Rendahnya Daya Serap Anggaran
Dalam kegiatan pembeliaan barang dan jasa pemerintah diperlukan penyusunan dokumen pengadaan. Dalam penyusunan dokumen pengadaan barang dan jasa terdapat beberapa urgensi penyusunan dokumen pemilihan penyedia seperti menjadi dasar dalam pelaksanaan dalam pelelangan sampai pelaksanaan kontrak, kesalahan dokumen yang dapat berakibat fatal dan belum adanya standar dokumen yang berlaku secara nasional. Terdapat ketentuan pedoman penyusunan dokumen pengadaan yaitu Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Permasalahan dalam dokumen pengadaan yang mengakibatkan rendahnya daya serap anggaran adalah (a) terjadi kesulitan dalam menentukan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) sehingga dibutuhkan keahlian dari penerima amanah (steward), (b) kontrak belum ditandatangani karena terdapat berbagai permasalahan seperti masih menunggu persetujuan lender (PPHLN), (c) adanya addendum kontrak, dan (d) pejabat/pegawai pengelola keuangan sering mengalami mutasi. (Herriyanto, 2014)
Peneliti yang menggunakan dokumen pengadaan sebagai variabel independen adalah sebagai berikut : Kuswoyo (2011), Siswanto dan Rahayu (2011), Hendris Herriyanto (2012), Prasetyo Adi Priatno (2013), Carlin Tasya Putri (2014), serta Nur Fitriany, Gregorius Nasiansenus Masdjojo, dan Titiek Suwarti (2015). Keenam penelitian ini memberikan pendapat bahwa dokumen pengadaan berpengaruh signifikan terhadap daya serap anggaran.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat dikemukakan hipotesis sebagai berikut :
H4 : Dokumen pengadaan berpengaruh positif terhadap rendahnya daya serap anggaran.
3.12. Uang Persediaan terhadap Rendahnya Daya Serap Anggaran
Uang Persediaan (UP) adalah uang muka kerja yang bersifat daur ulang (revolving) untuk membiayai kegiatan operasional kantor sehari-hari yang tidak dapat dilakukan dengan pembayaran langsung. UP digunakan untuk mempercepat proses penyerapan karena sifatnya cashonhand, dimanabendahara pengeluaran diberikan uang tunai untuk melakukan transaksi pembayaran atas pengeluaran negara secara tunai kepada yang berhak. Pengisian kembali UP (GUP) dapat diberikan apabila dana UP yang dipergunakan sekurang-kurangnya 75% dari dana UP yang diterima. Ketentuan ini dibuat agar dana yang tersimpan pada rekening bendahara pengeluaran tidak banyak yang menganggur (idlecash) apabila tidak digunakan. Di lain pihak bagi satker ketentuan ini justru memberatkan karena dalam melakukan revolving dana harus menunggu dana UP habis minimal sebanyak 75%. Sehinggga menyebabkan keterlambatan penyerapan anggaran. Permasalahan lainnya terkait GUP adalah adanya mekanisme baru bahwa Surat Setoran Pajak (SSP) sebagai lampiran GUP selain dilegalisasi oleh KPA atau pejabat yang ditunjuk juga harus melakukan konfirmasi kepada KPPN untuk mendapatkan validasi bahwa SSP yang disetorkan telah masuk ke Rekening Kas Negara. Proses validasi tersebut memakan waktu yang lama hingga 2 atau 3 hari. Jadi dengan adanya mekanisme tersebut berdampak pada keterlambatan penyerapan anggaran. Sehingga hal tersebut membutuhkan perhatian baik dari pihak steward maupun principal sehingga dapat menjalankan kegiatan sesuai dengan tujuan yang telah dibuat untuk kepentingan pihak stakeholder.
Penelitian yang menggunakan uang persediaan sebagai variabel independen adalah sebagai berikut : Hendris Herriyanto (2012), dan Carlin Tasya Putri (2014). Menurut dua peneliti ini, variabel uang persediaan memiliki pengaruh terhadap penyerapan anggaran. Menurut Herriyanto (2012), Faktor Uang Persediaan yang menjelaskan variasi seluruh item sebesar 5,41% yaitu kegiatan sudah dilaksakan dengan Uang Persediaan (UP) tetapi belum diganti melalui Ganti UP (GUP).
Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat dikemukakan hipotesis sebagai berikut :
H5 : Uang persediaan berpengaruh positif terhadap rendahnya daya serap anggaran.
3.13. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :
4. METODELOGI PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif deskriptif dengan metode survey. Menurut Nawawi (2003 : 64) metode deskriptif yaitu metode-metode penelitian yang memusatkan perhatian pada masalah-masalah atau fenomena yang bersifat aktual pada saat penelitian dilakukan, kemudian menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya diiringi dengan interprestasi yang rasional dan akurat.
Metode pengumpulan data yang sering digunakan dalam penelitian deskriptif adalah metode survey. Metode survey adalah penelitian yang mengambil sample dari satu populasi dan menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpul data yang pokok (Singarimbun, 1998).
4.2. Definisi Operasional Variabel
4.2.1. Variabel Dependen
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah rendahnya daya serap anggaran. Daya serap anggaran adalah pencapain dari suatu estimasi yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu dipandang pada suatu saat tertentu (realisasi dari anggaran). Variabel ini diukur dengan menggunakan skala likert antara 1 sampai 5. Skor terendah (1) dari jawaban responden menunjukkan rendahnya penyerapan anggaran dan skor tertinggi (5) menunjukkan penyerapan anggaran yang tinggi.
4.2.2. Variabel Independen
4.2.2.1. Perencanaan Anggaran
Perencanaan adalah kegiatan yang dilakukan untuk masa mendatang yang lebih baik dengan memperhatikan keadaan sekarang maupun sebelumnya. Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert lima poin.
4.2.2.2. Pencatatan Administrasi
Pencatatan administrasi adalah kegiatan ketatausahaan yang meliputi kegiatan catat-mencatat, surat-menyurat, pembukuan dan pengarsipan surat serta hal-hal lainnya yang dimaksudkan untuk menyediakan informasi serta mempermudah memperoleh informasi kembali jika dibutuhkan. Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert lima poin.
4.2.2.3. Kompetensi Sumber Daya Manusia
SDM adalah manusia yang bekerja dilingkungan suatu organisasi. SDM memiliki hubungan dengan perencanaan, karena terdapat tujuan dari perencanaan SDM yang diantaranya adalah untuk kepentingan individu, kepentingan organisasi dan kepentingan nasional. Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert lima poin.
4.2.2.4. Dokumen Pengadaan
Dokumen pengadaan berisi pengumuman mengenai lingkup pekerjaan, persyaratan peserta, waktu dan tempat pengambilan dan pemasukan dokumen, serta penanggung jawab kegiatan pengadaan. Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert lima poin.
4.2.2.5. Uang Persediaan (UP)
Uang Persediaan (UP) adalah uang muka kerja dengan jumlah tertentu yang bersifat daur ulang (revolving) yang diberikan kepada bendahara pengeluaran hanya untuk membiayai kegiatan operasional kantor sehari-hari yang tidak dapat dilakukan dengan pembayaran langsung. Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert lima poin.
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian
Popuasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2013). Populasi dalam penelitian ini adalah 45 SKPD di Kota Mataram.
Teknik dalam pengambilan sampel penelitian menggunakan teknik pengumpulan data secara purposive sampling, yaitu untuk memperoleh sampel yang memenuhi kriteria tertentu dibutuhkan karakteristik sampling. Kriteria pemilihan sampel dalam penelitian ini adalah pegawai yang menduduki jabatan dibidang yang berkaitan dengan anggaran yaitu PPK (Pejabat Pembuat Komitmen), PPTK (Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan), PP SPM (Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar) dan Bendahara Pengeluaran dimasing-masing SKPD, sehingga jumlah sampel menjadi 120 responden. Sampel diambil di 45 SKPD diantaranya Bagian Organisasi, Dinas Koperasi dan Perindag, Dinas Kesehatan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Bagian Kesra, Badan Lingkungan Hidup (BLH), Dinas Kebersihan, Dinas Pendapatan, Kecamatan Cakranegara, Dinas Perhubungan, BPBD, RSUD Kota Mataram, Bagian Ekonomi, Sekretariat DPRD, Kecamatan Selaparang, Kecamatan Sekarbela, BKD, Dinas Pertamanan, BPPKAD, Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM), Inspektorat, Dinas Tata Kota, Kecamatan Ampenan, Dikpora, Bagian APP, Bagian Umum, Dinas Pertanian Kelautan dan Perikanan, Dinas Dukcapil, Bagian Pemerintahan, Disosnakertrans, Badan Ketahanan Pangan, Sekretariat Daerah, Dinas Pekerjaan Umum, Humas dan Protokol, Kecamatan Mataram, Kecamatan Sandubaya, Kantor Perpustakaan, Bagian Pengelolaan data dan Elektronik, Bagian Pelaksana Penyuluh Pertanian Kota Mataram, Badan Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu, Satpol PP, BPKAD , Sekretariat DPRD, dan Korpri Kota Mataram.
4.4. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan membuat daftar pertanyaan dalam sebuah kuisioner yang akan diisi oleh responden. Butir pertanyaan dan pilihan jawaban dalam kuisioner disesuaikan dengan variabel-variabel yang akan diukur. Kuisioner akan diantarkan langsung kepada responden, dan jika memungkinkan kuisioner akan langsung diambil kembali setelah diisi oleh responden. Namun, jika tidak memungkinkan maka kuisioner akan diambil paling lambat 1 minggu setelah penyerahan atau sesuai waktu yang telah disepakati dengan responden.
4.5. Metode Analisis Data
Analisis data penelitian merupakan bagian dari proses pengujian data setelah tahap pemilihan dan pengumpulan data dalam penelitian. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan menggunakan analisis regresi linear berganda dengan bantuan program SPSS ( Statistical Package for Social Science). Beberapa teknik analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu:
4.5.1. Uji Kualitas Data
4.5.1.1. Uji Validitas
Uji validitas digunakan untuk mengukur sah atau valid tidaknya suatu kuesioner. Suatu kuesioner dikatakan valid jika pertanyaan mampu mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner tersebut. Uji validitas dalam penelitian ini menggunakan coefficient corelation pearson yaitu dengan menghitung korelasi antara skor masing-masing butir pertanyaan dengan total skor. Data dikatakan valid apabila korelasi antar skor masing-masing butir pernyataan dengan total skor setiap konstruknya signifikan pada 0,05 atau 0,01 maka pernyataan tersebut dikatakan valid Ghozali (2011).
4.5.1.2. Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas dimaksudkan untuk mengukur seberapa besar suatu pengukuran mengukur dengan stabil atau konsisten (Ghozali, 2011). Instrumen dipercaya jika jawaban dari responden atas pertanyaan adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu. Uji ini dilakukan dengan menggunakan koefisien crobach alpha dengan bantuan program SPSS 16.0 Cara untuk mengukur reliabilitas dengan Cronbach’s Alpha dengan kriteria lebih dari 0,7 adalah reliabel.
4.5.1.2. Uji Asumsi Klasik
4.5.1.2.1. Uji Normalitas
Ghozali (2011) menyatakan bahwa uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi variabel terikat dan variabel bebas keduanya mempunyai distribusi normal atau tidak. Uji normalitas residual dilakukan dengan menggunakan Kolmogorov-Smirnov test dengan taraf signifikan 5%. Dasar pengambilan keputusan nilai Sig ≥ 0,05 maka dikatakan berdistribusi normal. Jika nilai Sig < 0,05 maka dikatakan berdistribusi tidak normal.
4.5.1.2.2. Uji Multikolonieritas
Uji multikolinearitas ini bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas atau indepenen. Pengujian dilakukan untuk melihat ada tidaknya hubungan linear antara variabel bebas (indeks), dilakukan dengan menggunakan Variance Inflation Factor (VIF) dan tolerance value (Ghozali,2011). Batas dari tolerance value adalah > 0,10 atau nilai VIF < 10.
4.5.1.2.3. Uji Heteroskedastisitas
Menurut Ghozali (2011), uji heterokedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varian dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain (nilai errornya). Model regresi yang baik adalah Homoskedastisitas bukan heteroskedastisitas.
Untuk menguji ada tidaknya heteroskedastisitas, penelitian ini menggunakan uji Glejser. Pengujian ini membandingkan signifikansi dari uji tersebut terhadap α sebesar 5%.
4.5.1.3. Uji Hipotesis
Data yang telah dikumpulkan dianalsis dengan menggunakan alat analisis statistik yakni analisis regresi linier berganda untuk mengetahui pengaruh dokumen perencanaan (X1), pencatatan administrasi (X2), kompetensi SDM (X3), dokumen pengadaan (X4), dan uang persediaan (X5) terhadap penyerapan anggaran (Y). Peneliti menggunakan regresi linear berganda karena variabel dependen dan independen atau variabel Y, X1, X2, X3, X4, dan X5 diukur dengan skala paramatrik yaitu menggunakan skala likert. Rumus regresi yang digunakan adalah :
Y= a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + e
Dimana :
a = Konstanta
X1 = perencanaan anggaran
X2 = pencatatan administrasi
X3 = kompetensi SDM
X4 = dokumen pengadaan
X5 = uang persediaan
Y = rendahnya daya serap anggaran
b1, b2, b3, b4, b5 = Koefisien regresi untuk X1, X2, X3, X4, X5
e = error term
DAFTAR PUSTAKA
Ghozali, Imam. 2007. Aplikasi Analisis Multivariat dengan Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit Universitas Dipenogoro.
Halim, Abdul. 2014. Manajemen Keuangan Sektor Publik problematika penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Jakarta : Salemba Empat.
Herriyanto, Hendris. 2012. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keterlambatan Penyerapan Anggaran Belanja pada Satuan Kerja Kementrian di Wilayah Jakarta. Tesis. Depok: Universitas Indonesia.
Kuswoyo, IwanDwi. 2011. Analisis atas Faktor-Faktor yang Menyebabkan Terkonsentrasinya Penyerapan Anggaran Belanja di Akhir Tahun Anggaran: Studi pada Satuan Kerja di Wilayah KPPN Kediri. Tesis (Tidak Dipublikasikan). Yogyakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Universitas Gadjah Mada.
Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Penerbit Andi. Yogyakarta.
Miftah, Thoha. 2008. Perilaku Orang Konsep Dasar Dan Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Miliasih, Retno. 2012. Analisis Keterlambatan Penyerapan Anggaran Belanja Satuan Kerja Kementerian/Lembaga TA 2010 di Wilayah Pembayaran KPPN Pekanbaru. Tesis. Jakarta: Fakultas Ekonomi.Universitas Indonesia.
Nawawi. 2003. Perencanaan SDM untuk Organisasi Profit yang Kompetitif. Yogyakarta: GM University Press.
Priatno, Prasetyo Adi. 2013. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyerapan Anggaran pada Satuan kerja Lingkup Pembayaran KPPN Blitar. Jurnal Ilmiah. Malang: Universitas Brawijaya.
Putri, Carlin Tasya. 2014. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyerapan Anggaran pada Satuan Kerja Perangkat Daerah di Pemerintah Provinsi Bengkulu. Skripsi. Bengkulu: Universitas Bengkulu.
Singarimbun, Masri. 1998. Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES.
Siswanto D.A dan Rahayu L.S. 2011. Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Penyerapan Belanja Kementrian/Lembaga TA 2010.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&B. Bandung. Alfabeta.
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang penyusunan rencana kerja dan anggaran kementrian Negara/lembaga.
www.radarlombok.co.id
No comments:
Post a Comment